"kami pekerja, suka membaca"

Rabu, 29 Januari 2014

Kisah Moenadi (Atobiografi & Tulisan-Tulisannya)

Pengarang : Jafar Suryo Manggolo
Penerbit : Sadane
No : SPPT.0341-DP-0114

Moenadi (1)

(Bagian 1)
Jafar Suryomenggolo[1]

TOKOH KITA INI adalah “orang besar” pada zamannya. Namun, namanya cuma disebut selintas dalam buku peringatan “kehidupan perkeretaapian selama 25 tahun sedjak bangsa Indonesia merdeka”, pada bagian pendek soal gerakan buruh.[2]

Apa yang dikerjakannya dan segala soal yang berkaitan dengan itu pada masa-masa awal republik, tidak disinggung. Walau tidak dibuang sepenuhnya dari ingatan sejarah, perannya bagi bangsa muda Indonesia dibikin jadi sempit-terbatas dan terlihat sepele. Akibatnya, untuk masa selanjutnya, ia pelan-pelan dilupakan, dan dirasakan tidak ada gunanya lagi mencatat namanya dalam sejarah perjalanan kehidupan berbangsa – hingga terjungkirnya Soeharto dari kursi presiden. 

Lalu, siapakah tokoh kita ini? Apa yang menjadikan namanya perlu disebut (kembali) dalam sejarah Indonesia? Anak muda jaman sekarang mungkin mudah larut dalam kejemuan saat mencoba memahami kisah tokoh kita ini dalam konteks kekinian. Jadi, apa gunanya sebuah tulisan kisah hidupnya diterbitkan sebagai bahan bacaan anak muda – dalam jaman gombal sinetron cengeng dan teknologi wikipedia kini? Ini bukan soal ketercerabutan sejarah generasi muda. Bukan pula soal menggali penggalan sejarah kelam. Tapi sebagai langkah awal menyadari, bahwa kisahnya adalah referensi penting bagi kita dalam proses membangun nasion Indonesia yang adil.   



***

MOENADI MENULISKAN KISAH perjalanan hidupnya secara sederhana saja. Dimaksudkan sebagai bentuk cerita seorang ayah kepada anak-anaknya. Lembaran-lembaran susunan abjad yang menjadi kerangka tulisannya itu berisikan refleksi atas kehidupannya sebagai seorang pemuda, buruh, dan teknisi di dalam masyarakat Indonesia, pada kurun waktu 1920-an hingga awal 1960-an. Tulisannya itu berisikan pengalaman-pengalaman murni ketika masa mudanya (zaman penjajahan Belanda), berlanjut ke masa dunia kerja sebagai buruh kereta api (zaman penjajahan Jepang dan perang revolusi kemerdekaan) hingga pada masa pengabdiannya di Departemen Perburuhan (zaman demokrasi konstitusional dan demokrasi terpimpin ala Soekarno). 

Kisah perjalanan hidupnya itu merupakan rekaman memori bangsa yang berjuang untuk menjadi diri sendiri yang sejati.  Moenadi mengalami perubahan-perubahan sosial dalam periode-periode penting perjalanan bangsa. Moenadi dengan jujur dan tanpa banyak pretensi, menuangkan dengan gaya bahasa yang sederhana dan terkadang juga jenaka, perjalanan hidupnya selama masa-masa penuh gejolak itu. Kisah intim kehidupan keluarga dan beragam pengalaman kerjanya menjadi adonan utama dalam perjuangan perjalanan seorang anak bangsa.

Satu yang tidak diceritakannya adalah penggalan kehidupannya dalam organisasi buruh, Serikat Buruh Kereta Api (SBKA), yang ia bentuk bersama rekan-rekannya dan kemudian sempat ia pimpin.[3]  Sayangnya dalam sejarah resmi Orde Baru, SBKA diingat hanya sebagai “serikat buruh komunis” – tanpa ada telaah akademis sama sekali. Proses perjalanan SBKA sebagai sebuah organisasi direduksi menjadi ikon paranoia masyarakat akan “bahaya laten komunisme.” Demikianlah, Kata Pengantar ini dimaksudkan pula sebagai bahan awal dalam memberikan gambaran akan latar belakang pembentukan SBKA, dan perjalanannya menjadi organisasi serikat yang cukup besar dan kuat pada masanya itu, terutama pada saat dipimpin oleh Moenadi. Dengan gambaran ini diharapkan timbul pengertian yang jernih bahwa SBKA adalah contoh organisasi serikat buruh yang sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan anggotanya – dan ini dapat menjadi sumber inspirasi bagi organisasi serikat buruh masa kini. 

***

SBKA dibentuk dari kumpulan beberapa organisasi buruh kereta api. Pada bulan-bulan awal usai proklamasi kemerdekaan Agustus 1945, buruh kereta api adalah kelompok masyarakat yang secara sadar pertama kali untuk berkumpul dan membentuk organisasi. Organisasi awal itu disusun berdasarkan lokalitas stasiun tempat mereka bekerja. Buruh kereta api dengan langkah-langkah strategis mengambil alih stasiun-stasiun, bengkel-bengkel dan juga kantor pusat kereta api dari tangan kekuasaan militer Jepang – yang saat itu telah menyadari kekalahannya dari pasukan sekutu. Bermula dari kantor stasiun di Jakarta-kota, kemudian bengkel api Manggarai, pengambilalihan ini menyebar ke seluruh stasiun dan kantor kereta api di seluruh Jawa, dan dalam kurun waktu kurang dari dua bulan seluruh stasiun Kereta Api di pulau Jawa sudah berada dalam pengawasan dan penguasaan para buruh kereta api. Moenadi muda yang saat itu tinggal dan bekerja di Bandung, tidak hanya sekedar ikutan saja, tapi memimpin aksi pengambilalihan dan selanjutnya pengawasan stasiun dan kantor operasional pusat kereta api seluruh pulau Jawa – yang memang saat itu berada di Kota Bandung. 

Langkah tindakan berani buruh kereta api ini selanjutnya diikuti oleh beberapa buruh lainnya dalam mengambil alih alat-alat produksi utama dari tangan militer Jepang: buruh perkebunan gula mengambil alih kantor dan areal perkebunan gula, buruh minyak mengambil alih kantor-kantor pertambangan minyak. Seketika pula semua alat-alat produksi yang sudah direbut oleh para buruh itu, dideklarasikan sebagai “Milik Republik Indonesia” – sebagai bukti perjuangan keberpihakan para buruh pada Republik yang usianya baru beberapa bulan saja.

Para buruh selanjutnya mengatur dan mengawasi jalannya alat-alat produksi itu. Buruh kereta api sebagai pelopor utama, berdasarkan lokalitas stasiun tempat mereka bekerja, usai pengambilalihan, langsung mengadakan pertemuan umum. Adam Malik, yang pada masa itu “cuman” seorang pemuda pejuang yang menjadi saksi mata satu pertemuan umum di stasiun Jakarta-kota, dengan sangat menarik mencatat bahwa pertemuan itu memutuskan beberapa orang buruh sebagai pemimpin di antara para buruh lainnya (disebut sebagai “Dewan Pimpinan”), dan uniknya kemudian, diadakan pengambilan sumpah di hadapan publik.[4] Susunan yang terbentuk adalah model kepemimpinan primus-inter-pares. Di bawah kepemimpinan di antara sesama buruh, para buruh kereta api ini, buruh-buruh pribumi yang selama itu dianggap rendah dan tak punya dispilin, ternyata mampu mengoperasikan dan mengoordinasikan jalannya sistem transportasi modern. Semua dilakukan buruh kereta api tanpa komando ataupun di bawah instruksi opsir Belanda seperti masa penjajahan dulu. Dan, ini menjadi bukti kemandirian mereka sebagai bangsa yang merdeka dan sebagai kelas buruh yang progresif. Rasa kebangsaan dan solidaritas kerja memang tumbuh bersamaan.

Serikat Buruh dan Republik Indonesia. Buruh digambarkan secara simbolik bersebelahan dengan tentara yang menghunus bayonet, mempertahankan kemerdekaan dengan hanya bersenjatakan bambu runcing. Di latar sebelah kiri gambar kereta api sebagai simbol alat transportasi utama pada masa itu. Di sebelah kanan gambar bangunan pabrik (dengan cerobong asap) yang ditandai “Hak Milik Republik Indonesia”. Di bagian depan, gambar buruh yang berkumpul membentuk serikat, simbolisasi kongres serikat buruh.    Sumber: Buletin SOBSI 2, 13-15 (1955)
Serikat Buruh dan Republik Indonesia. Buruh digambarkan secara simbolik bersebelahan dengan tentara yang menghunus bayonet, mempertahankan kemerdekaan dengan hanya bersenjatakan bambu runcing. Di latar sebelah kiri gambar kereta api sebagai simbol alat transportasi utama pada masa itu. Di sebelah kanan gambar bangunan pabrik (dengan cerobong asap) yang ditandai “Hak Milik Republik Indonesia”. Di bagian depan, gambar buruh yang berkumpul membentuk serikat, simbolisasi kongres serikat buruh. Sumber: Buletin SOBSI 2, 13-15 (1955)

Selama bulan-bulan awal kemerdekaan itu, para buruh kereta api dengan tanpa imbalan gaji tetap, mampu mengerjakan pekerjaannya sebagai bentuk pelayanan pada masyarakat dan juga, perjuangan bagi Republik. Pengiriman tentara, pengangkutan bantuan beras, penyediaan transportasi bagi presiden dan wakilnya: semua dikerjakan oleh buruh kereta api. Dan, buruh kereta api sadar akan peran vital mereka. Setiap stasiun, kantor atau bengkel kereta api mempunyai dewan pimpinan masing-masing sebagai tempat para buruh kereta api mengatur kerja mereka. Kantor Pusat Bandung, tempat Moenadi bekerja dan menjadi pemimpin organisasinya, menjadi markas utama operasional dan koordinasi kerja dari berbagai dewan pimpinan ini. Mereka mampu melakukan pengaturan alokasi dengan sumber daya seadanya, dan utamanya: mengatur dirinya sendiri dalam kepemimpinan yang setara. Prinsipnya, egaliter dan independen. Karakter independen ini memang menjadi ciri utama banyak organisasi buruh pada masa itu. Para buruh perkebunan gula juga mampu mengatur sistem kerja dan membagi hasil kerja di antara mereka sendiri.[5]

Sayangnya, karakter independen organisasi buruh ini mulai dicurigai oleh pemerintah pusat. Republik muda yang masih goyah dan belum stabil pemerintahannya itu menghadapi tekanan kelompok oposisi – utamanya dari Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka, dalam sistem “coba-coba” demokrasi kabinet usulan Sjahrir. Pemerintah pusat dalam kabinet Sjahrir pertama ini (mulai resmi bekerja 14 November 1945) takut organisasi buruh yang tumbuh independen ini ditunggangi oleh kelompok oposisi untuk merongrong keabsahan pemerintahan, dengan misalnya mengadakan pemogokan-pemogokan. Karenanya, pemerintah pusat cukup bersikap hati-hati terhadap organisasi buruh untuk tetap memastikan dukungan buruh atas pemerintahan mereka dan menahan agar mereka tidak lari ke kelompok oposisi.

Selain itu, dari pemerintah pusat sendiri ada upaya untuk menguasai semua alat-alat produksi yang ada (utamanya di Pulau Jawa) dalam rangka pengaturan ekonomi. Penguasaan alat-alat produksi di tangan berbagai organisasi buruh (stasiun oleh buruh kereta api, perkebunan gula oleh buruh gula, tambang minyak oleh buruh minyak) dianggap tidak menguatkan struktur ekonomi negara yang direncanakan secara terpusat. Mesti diingat, kereta api adalah sarana transportasi andalan pada masa itu, sementara perkebunan gula adalah sumber pemasukan ekonomi utama bagi negara, di samping pertambangan minyak yang baru dimulai. Jadi, pemerintah pusat berupaya betul untuk secara langsung mampu mengatur alat-alat produksi yang dianggap vital itu dalam genggaman tangannya. Buruh dianggap “kurang mampu” mengatur alat-alat produksi tersebut, selain juga ada semacam ketakutan bahwa buruh akan semakin kuat dan berada di luar kontrol pengawasan pemerintah. 

Oleh karena itu, mulai Januari 1946 pemerintah pusat menyiapkan langkah-langkah taktis untuk menguasai semua alat-alat produksi itu. Oleh pemerintah pusat, penguasaan dan pengaturan oleh buruh dipandang sebagai bentuk “sindikalisme ekonomi”[6] yang membahayakan kepentingan republik. Pemerintah pusat mulai menurunkan orang-orangnya untuk menguasai stasiun, perkebunan gula dan pertambangan minyak di Jawa. Di perkeretaapian, pemerintah pusat membentuk Djawatan Kereta Api (DKA), yang diberi kewenangan penuh untuk mengatur operasional kereta api. Ir. Djuanda, kawan dekat Sjahrir dan Soekarno, diangkat untuk memimpin badan baru itu – padahal kurang tahu soal perkeretaapian. Pemerintah pusat juga membentuk organisasi buruh kereta api secara terpusat yang diberi nama “Serikat Sekerdja Kereta Api,” setelah membubarkan dan tidak mengakui keberadaan Dewan Pimpinan. 

Menyadari kerja dan organisasi independen Dewan Pimpinan mereka tergerus oleh kebijakan taktis pemerintah pusat, para buruh kereta api merasa disudutkan dalam kerangka bikinan DKA. Dalam situasi ini, buruh kereta api kemudian mencoba mengumpulkan dan menyelamatkan sisa-sisa independensi yang telah mereka upayakan dan sempat nikmati di bulan-bulan awal kemerdekaan. Di antara berbagai organisasi buruh kereta api yang tersebar di seluruh pelosok Jawa, kontak intensif dibangun, komunikasi antarorganisasi ditingkatkan, dan beberapa pertemuan kecil disusul. Moenadi menjadi mata rantai utama dalam rencana awal ini, menghubungkan kantor Bandung dengan rekan-rekannya di Surabaya. Sebagi hasilnya, kongres buruh kereta api disepakati untuk diadakan selekasnya, di Kota Solo. Kongres dimulai pada Selasa (pahing), 12 Maret – hari yang sama kabinet Sjahrir kedua mulai resmi bekerja, setelah sebelumnya “dipaksa” oleh kelompok oposisi Persatuan Perjuangan untuk meletakkan jabatan. Ya, buruh kereta api cukup pandai memanfaatkan waktu situasi politik ini. 

Dalam kongres tiga hari itu, buruh kereta api langsung memutuskan hal-hal pokok yang berkenaan dengan penghidupan mereka dan kelangsungan organisasi independen bentukan mereka sendiri. Mereka tidak segan mengajukan tuntutan ke pemerintah pusat yang baru saja terbentuk – dalam susunan kabinet baru itu, “pimpinan” mereka di DKA Ir. Djuanda telah ditunjuk sebagai Menteri Muda Perhubungan, suatu posisi yang baru dibentuk dengan kewenangan yang lebih luas (tak terbatas pada perkeretaapian saja!) untuk menguasai alat-alat transportasi dalam pengaturan pemerintah pusat. Hasil kongres pertama buruh kereta api seluruh Jawa ini menyaratkan agar pemerintah mempertimbangkan suara buruh dalam setiap kebijakannya, dan harus ada wakil buruh yang duduk dalam berbagai badan baru bentukan pemerintah, juga tidak sembarangan membubarkan Dewan Pimpinan yang terbentuk “berdasarkan kedaulatan rakyat buruh kereta api”.[7]  Tuntutan keras ini memaksa pemerintah pusat untuk betul-betul melihat ulang rangkaian sepak terjangnya atas independensi serikat buruh. 

Di lain sisi, buruh kereta api juga tidak serta merta lugu menunggu reaksi pemerintah pusat. Mereka menyusun kekuatan yang lebih dahsyat: membentuk kesatuan di antara berbagai organisasi buruh yang tersebar itu dalam bentuk serikat buruh. Resmi terbentuk di hari kedua kongres, 13 Maret 1946, serikat itu diberi nama “Serikat Buruh Kereta Api” (SBKA), dengan Moenadi terpilih sebagai ketua umumnya.

***

STRUKTUR KEPENGURUSAN SBKA sangatlah sederhana dan taktis-efisiensi. Ketua umum dan wakilnya dalam kerja hariannya dibantu oleh sekretaris dan bendahara (masing-masing posisi diisi oleh dua orang) dan lima orang anggota pengurus pusat. Pengurus pusat sendiri ditopang oleh apa yang disebut sebagai “Anggota Pengurus Besar (APB) tersiar” yang mewakili empat daerah operasional kerja kereta api di kantor pusat (Cisurupan), daerah Jawa Barat (di Purwokerto), daerah Jawa Tengah (di Purwodadi) dan daerah Jawa Timur (di Madiun).[8]

Jelas terlihat, kepengurusan SBKA tidak disusun secara hirarkis tapi berdasarkan prinsip fungsi koordinasi. Struktur kepengurusan ini memungkinkan pengurus pusat mendengar langsung keluhan-keluhan dan kepentingan-kepentingan buruh anggota yang perlu dibela dan diperjuangkan di tingkat basis. Ini jelas terekam dalam cukilan sejarah tentang tuntutan gaji.

Akhir Mei 1946, Menteri Keuangan, Soerahman Tjokroadisoerjo, mengeluarkan satu “makloemat” (semacam peraturan internal) yang isinya mengatur kenaikan gaji permulaan – hingga 45 persen, bagi para pegawai negeri. Semenjak dibentuknya DKA, para buruh kereta api dianggap sebagai pegawai negeri, dan karenanya segala peraturan pegawai-negeri diberlakukan di lingkungan perkeretaapian, termasuk pula soal gaji. Hanya saja, Makloemat Menteri Soerahman mengatur kenaikan gaji bagi para pegawai tingkat atas, sementara pegawai tingkat bawah tidak disebut.[9]Ketidakadilan ini jelas dirasakan para buruh kereta api, yang sebagian besar digolongkan dalam pegawai tingkat bawah. Suara kegelisahan mulai bergema, walau belum menjelma menjadi ketidakpuasan.

Cepat menangkap situasi ini, pengurus SBKA lekas bertindak: surat protes disusun dan dikirim kepada Menteri Soerahman, dengan ditandatangani oleh Moenadi sebagai ketua.[10] Surat menyatakan kegelisahan buruh tingkat bawah yang merasakan ketidakadilan atas kenaikan gaji yang hanya dinikmati buruh tingkat atas, dan menuntut agar “perubahan itu merata mengenai semua golongan”. Dasar pembenar yang dijadikan patokan tuntutan itu bahwa buruh tingkat bawah adalah “merekalah merupakan tulang punggung dalam tiap djawatan Negara”.

Surat protes dan argumen yang diajukannya, jelas membuktikan kuatnya simpul solidaritas SBKA dalam menyuarakan kepentingan anggota – sesuatu yang “lumrah” dikerjakan oleh organisasi buruh independen manapun, kapanpun.  Surat protes ini juga membuktikan bahwa SBKA, yang sepenuhnya mendukung perjuangan Republik, tetap berani mengungkapkan keberatannya atas pola kebijakan negara yang merugikan buruh – suatu hal yang “biasa” dalam menunjukkan kemandirian organisasi buruh dari campur-tangan negara. Yang luar biasa adalah, kepentingan ekonomis buruh anggota ini terus diperjuangkan lewat berbagai cara yang, dapat dikatakan, canggih dan kreatif, menembus sekat birokrasi pada jamannya. Tidak hanya terpaku dalam tempurung bikinan Djawatan Kereta Api, Moenadi bersama wakilnya, Kardan, mengajukan tuntutan ini bukan terbatas hanya dalam lingkungan kereta api saja, tapi mampu mengemasnya sebagai suatu bentuk ketidakadilan yang dirasakan oleh semua buruh pegawai negeri lainnya. Karenanya, mereka berhasil menggalang suara bulat bersama beberapa pemimpin serikat buruh lainnya untuk secara bersama-sama mendesakkan tuntutan kenaikan gaji bagi buruh kelompok bawah ini, ke dalam konferensi Kementerian Sosial yang diadakan pada 27-29 Juli 1946. Menteri Sosial didesak untuk menjalankan fungsi perlindungan sosial bagi buruh sehingga upah yang diterima buruh “harus cukup untuk menjamin penghidupan keluarga” dan “perbandingan/ imbangan upah pokok bagi buruh yang terendah dengan buruh yang tertinggi adalah 1:5”. Ini bukan sekedar tuntutan membabi-buta yang berlebihan, tapi didasarkan pertimbangan bahwa keadilan sosial yang dicita-citakan masyarakat juga terbuka untuk dinikmati oleh buruh tingkat bawah dengan adanya sistem pengupahan yang adil. Selain itu, juga dituntut agar upah “tidak hanya terdiri dari mata uang, tetapi juga sebagian terdiri dari barang (in natura),” sebagai langkah taktis menyiasati kurangnya bahan pangan dan juga, naiknya harga-harga kebutuhan pokok selama masa genting perang kemerdekaan itu.  

Apa yang SBKA perjuangkan memang sepenuhnya didasarkan atas perlindungan bagi buruh anggota. Persoalan kenaikan gaji ini menjadi titik-tolak kegiatan awal SBKA, yang menjadi pola utama bagi model perjuangan SBKA membela kepentingan ekonomi buruh anggota, walau mesti berhadapan dengan kekuasaan negara. Sampai akhir 1946, persoalan upah ini tetap menjadi perjuangan utama SBKA – tapi Moenadi kemudian menghilang di balik layar.  Sekitar 5 minggu setelah konferensi Kementerian Sosial itu, dalam rapat pengurus SBKA pada 7-8 September 1946 Moenadi meletakkan jabatannya sebagai ketua, dan selanjutnya tercatat sebagai anggota pengurus.  Ia digantikan oleh Kardan. Dari lembaran catatan perjalanan kehidupannya ini bisa kita baca, pengunduran dirinya itu disebabkan masalah kesehatan yang dideritanya.[11]
***

Selasa, 28 Januari 2014

Memetakan Gerakan Buruh

Pengarang : Syarif Aripin,Fahmi Penimbnag,Abduh Mukafir
Penerbit : Kepik
No : SPPT.0341-DP-0114
 

Memetakan Gerakan Buruh:

Antologi Tulisan Mengenang Fauzi Abdullah

Keterbukaan politik dan peluang pengorganisasian di era Reformasi memberikan harapan bagi munculnya serikat buruh yang dapat menopang jalannya demokrasi di Indonesia. Berbeda dengan zaman Soeharto, kini, serikat buruh dapat didirikan dengan bebas dan kaum buruh dapat mengeskpresikan ketidakpuasannya. Aksi-aksi protes terus bermunculan di berbagai daerah dengan metode dan sasaran yang beragam, seperti tampak dalam peringatan Hari Buruh Sedunia dan momen kenaikan upah minimum.
Memasuki era kebebasan berserikat, hingga 2010, jumlah serikat buruh di tingkat nasional mencapai empat konfederasi, 112 federasi, dan lebih dari sebelas ribu serikat buruh tingkat pabrik, dengan tiga tipologi sederhana: Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), eks-SPSI, dan non-SPSI. Namun, mengingat lemahnya mekanisme verifikasi oleh Dinas Ketenagakerjaan, maka angka yang menunjukkan keanggotaan serikat buruh berikut turunannya seperti tingkat kerapatan serikat, adalah angka yang sulit untuk dapat dipercaya.[1]
Di sisi lain, walaupun jumlah serikat buruh terus bertambah, namun kerja-kerja pengorganisasian serikat buruh masih harus tetap diperiksa lebih lanjut. Setidaknya ketika kita merujuk pada data di antara pekerja di sektor formal yang berjumlah 30 juta, hanya 3,3 juta orang yang bergabung menjadi anggota serikat buruh (itupun relatif bersifat klaim serikat, karena lemahnya verifikasi Disnaker). Artinya, tingkat kerapatan atau penetrasi serikat buruh (union density) ke dalam angkatan kerja masih sangat rendah, hanya sekitar 12 persen dari pekerja formal, atau kurang dari 3 persen dari total jumlah angkatan kerja. Dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Timur, tingkat kerapatan serikat buruh di Indonesia selalu terhitung lebih rendah, hanya lebih tinggi dibanding Thailand, tapi jauh lebih rendah dibandingkan Singapura, Taiwan, Malaysia, dan Filipina. (lihat Juliawan, 2009)
Selain itu, pasar tenaga kerja fleksibel (labour market flexibility-LMF) dalam wujud buruh kontrak dan outsourcing, sebagai kebijakan resmi pemerintah Indonesia, telah memukul bagian-bagian utama kekuatan serikat buruh. Dimana hantaman utama LMF adalah berkurangnya jumlah anggota serikat dengan signifikan dan menurunnya solidaritas antarburuh dan antarorganisasi buruh. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa rezim pasar kerja fleksibel telah mengurangi lebih dari 30 persen keanggotaan serikat buruh. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus meningkat dengan mempertimbangkan bahwa kebijakan ini semakin dikukuhkan sementara kekuatan serikat buruh masih terus stagnan, dan belum menemukan respon yang lebih strategis untuk menghadapi rezim pasar kerja fleksibel.
Buku, “Memetakan Gerakan Buruh: Antologi Tulisan Mengenang Fauzi Abdullah” membantu kita untuk melihat kembali dinamika perjalanan gerakan buruh di Indonesia, khususnya pada periode 2002-2009, yang merupakan fase awal reorganisasi gerakan buruh di Indonesia pasca-Orde Baru. Buku ini sendiri merupakan kumpulan artikel yang sebelumnya dimuat di Jurnal Kajian Perburuhan Sedane, sejak 2002 hingga 2009. Buku ini mencoba memetakan bagaimana hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh serikat buruh pasca-Orde Baru yang melakukan penghancuran kapasitas politik serikat buruh sampai ke akar-akarnya, dan melakukan penataan ulang gerakan buruh di Indonesia salahsatunya dengan menerapkan kebijakan serikat buruh tunggal dan dimasukannya militer ke dalam serikat buruh, sehingga melahirkan mekanisme kontrol dan penaklukan kelas buruh yang berhasil menyingkirkan buruh dari proses penyelesaian masalah dengan cara-cara yang represif.
Antologi tulisan perburuhan ini sendiri dibagi ke dalam tiga tema pembahasan. Pertama, bagaimana keadaan buruh dan serikat buruh dalam konteks ekonomi-politik regional Asia. Di kawasan Asia Tenggara diwakili oleh Indonesia, Thailand, Filipina, dan Malaysia. Adapun konteks regional Asia dilihat melalui dampak industrialisasi di Cina terhadap persoalan perburuhan di dalam negerinya. Kemudian, dibahas pula potret ringkas mengenai gerakan buruh di Korea yang konon dinilai paling progresif.
Kedua, mengenai dinamika gerakan buruh di Indonesia, yang antara lain diwarnai oleh keberadaan serikat buruh yang memasukkan agenda-agenda politik sebagai bagian integral dari kerja-kerja keserikatburuhan, sampai kepada serikat buruh yang masih mempertahankan watak ekonomistiknya serta menganggap agenda-agenda politik sebagai bagian yang terpisah dari kerja-kerja keserikatburuhan itu sendiri dalam rangka menciptakan suatu pakta sosial berbasis gerakan buruh. Selain itu, bagian ini juga membahas dinamika perubahan hukum perburuhan di Indonesia sebagai sebuah gambaran tarik-ulur kepentingan antara gerakan buruh, negara, dan pemodal. Kemudian, bagaimana dinamika pertarungan gerakan buruh dan masuknya investasi ke daerah-daerah dalam ruang kontestasi politik lokal yang tercipta akibat kebijakan desentralisasi kekuasaan.
Ketiga, isu-isu demokrasi, konflik antar-serikat, dan kesejahteraan buruh. Salah satu warisan otoritarianisme Orde Baru adalah penghancuran tradisi perlawanan dan demokrasi di dalam serikat buruh. Hal ini merupakan tantangan yang perlu dijawab oleh serikat buruh untuk membangun demokrasi di dalam kehidupan sehari-hari serikat buruh dengan terus-menerus mengembangkan praktik organisasi yang demokratis: tidak lagi menempatkan anggota sebagai penonton, akan tetapi mengembalikan posisinya sebagai pemegang kedaulatan organisasi.
Di luar itu, dalam konteks yang lebih sempit: isinya. Salah satu kelemahan paling pokok dari buku ini adalah, kosongnya pembahasan mengenai kondisi buruh di sektor perkebunan. Tidak hanya di dalam buku ini, tapi di dalam delapan belas edisi Jurnal Sedane, sejak 2002-2009, tidak ada satupun tulisan mengenai buruh perkebunan. Tulisan tentang buruh perkebunan baru muncul di dalam Jurnal Sedane pada tahun 2011. Kondisi ini sebenarnya sudah pernah diingatkan oleh Fauzi Abdullah, jauh sebelumnya, bahwa analisis di dalam Jurnal Sedane terlampau manufaktur sentris. Terlepas dari berkembang pesatnya sektor industri manufaktur di Indonesia sejak 1979an, sektor perkebunan memiliki posisi yang terlampau penting untuk dilewatkan.
Di sisi lain, kekosongan bahasan dinamika buruh perkebunan memberikan catatan bahwa restrukturisasi gerakan buruh di Indonesia cenderung hanya terkonsentrasi pada sektor manufaktur yang bersifat hilir (atau sektor non-perkebunan). Sementara di sektor perkebunan, gerakan buruh di Indonesia memiliki satu persoalan mendasar yang membutuhkan analisis, yaitu relatif tidak terjadinya reorganisasi di tubuh serikat buruh sektor perkebunan, yang mengakibatkan gerakan buruh di sektor perkebunan terus mengalami stagnasi, di mana rezim serikat buruh tipe lama masih tetap mapan, dan nyaris tidak terpengaruh oleh gelombang restrukturisasi gerakan buruh di Indonesia, setidaknya melalui perubahan kebijakan negara yang menghasilkan kebebasan berserikat. Hal tersebut menunjukkan terjadinya kesenjangan antara dinamika gerakan buruh di sektor perkebunan dan sektor non-perkebunan, atau ada relasi yang putus antara serikat buruh yang tumbuh di sektor manufaktur dengan sektor perkebunan. (Abusurd Mufakhir & Syarif Arifin, LIPS)


[1] Meskipun peraturan tentang kebebasan berserikat sudah diundangkan sejak tahun 2000, peraturan tentang prosedur verifikasi keanggotan serikat buruh baru dibuat lima tahun sesudahnya, dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 6/MEN/IV/2005. (Juliawan, 2009)