"kami pekerja, suka membaca"

Rabu, 19 Maret 2014

Menjadi Pemimpin Politik

Pengarang : M Alfan Alfian
Penerbit : Pt Gramedia Pustaka Utama
No : SPPT.0356-DP-0314
Kehidupan adalah instink untuk menumpuk kekuasaan, di saat nafsu berkuasa berhenti, maka berhenti pulalah kemajuan peradaban.
Dalil ini, setidaknya, dipercaya oleh Frederich Nietzche, sang pengggas eksistensialisme. Meski banyak bukti yang bisa membalik asumsi garang itu, namun tak kurang-kurang pula catatan sejarah yang bisa menjadi alat pembenaran. Betapa dunia dipenuhi oleh peradaban-peradaban besar, yang dihela oleh manusia-manusia unggulan (sekaligus sangat pekat dipenuh naluri untuk berkuasa).
Dan buku ini sepenuhnya membincang genealogi (seluk beluk) kekuasaan. Terutama dalam terma kekuasaan politik. Begitu detil dan menelusur ke segala sudut. Mulai dari petikan-petikan filosofis-puitis tentang kekuasaan, dasar-dasar teori kekuasaan, ideologi, hingga catatan orang-orang besar yang pernah sangat berkuasa.
Nyaris saja, jika buku ini ditulis lebih tebal dan panjang, menjadi text book terpenting seputar politik dan kekuasaan (minimal untuk konteks pembaca di Indonesia). Satu hal perlu diingat, penulis buku ini tergolong pengamat politik prolifik, begitu produktif, dan mampu menulis pembahasan dengan ide berat, tetapi melalui bahasa yang mudah. Dia adalah M. Alfan Alfian, Alumni HMI dan kini menjadi pengajar Ilmu Politik di sejumlah kampus di Jakarta.
Bagian terpenting, buku ini mengurai pengertian dasar dari kekuasaan. Lewat telaah multi perspektif, penulis buku ini mengangkat satu pendekatan yang paling mudah, demi memahami makna kekuasaan. Di halaman 218 misalnya, dalam Bab Arti Penting Kekuasaan, menukil Robert A. Dahl, bahwa pada pokok batang kekuasan, hanya melulu menjulur dalam sejumlah ranting, yaitu : power, influece, authority, and rule. Sisanya, yang lain-lain adalah soal akar tunjang kekuasaan, tanah penyubur, atau mungkin dedaunan saja yang terdapat dalam “pohon besar” kekuasaan.
Sumber Kuasa
Kekuasaan diperoleh dari banyak sumber. Benar atau salah, faktual atau mitos, via jalan damai atau perang berdarah, bukanlah urusan penting. Maksudnya, banyak sumber dan banyak cara untuk memperoleh kekuasaan, dan agar kekuasaan dipercaya kebenarannya dan bisa langgeng, maka ia butuh “pembenaran”, atau dalam bahasa politik moderen disebut legitimasi.
Inilah yang penting. Bahwa ketika sumber kekuasaan diklim sebagai datang dari Tuhan, maka ia butuh legitimasi agama. Saat kekuasaan datang dari kekuatan takhayul (seperti Nyi Roro Kidul, dalam klaim raja-raja Mataram), maka ia butuh legitimasi mitos. Sementara di alam demokrasi moderen, sumber kekuasaan diperoleh melalui legitimasi hukum dan pemilu yang sah.
Jika pilar dasar kekuasaan telah diperoleh, maka langkah selanjutnya adalah menemukan basic of power atau basis kekuasaan. Perkara ini, seperti terurai di halaman 237 buku ini, terletak pada: (1) paksaan; (2) imbalan; (3) persuasi; dan (4) pengetahuan. Olehnya, muncul beragam istilah, seperti kekuasaan paksaan atau kekuasaan pengetahuan (the power of knowledge). Meski basis kekuasaan bergerak dalam empat alur itu, kesemuaanya tetap membutuhkan atribut kekuasaan, dalam bentuk simbol, ikon, sistem nilai, ideologi, atau bahkan konstitusi.
Atribut Kuasa
Hari ini kita mengenal lanskap baru dalam atribut kekuasaan, yaitu imagology (sebagai dasar filosofisnya), politik pencitraan (sebagai metode), dan kekuasaan televisual (sebagai wahana). Metodologi canggih tersebut, meski bersifat baru, tetapi sama sekali tak meninggalkan praktek-praktek pembenar kekuasaan yang sudah lazim, melainkan hanya mengemasnya secara menarik.
Dengan demikian, dalam politik pencitraan, mitos pun masih perlu. Hal ini, seperti ditegaskan Karen Armstrong, bahwa mitos bukanlah masalah informasi faktual, melainkan efektivitasnya (halaman 261). Selain mitos, juga pernak-pernik persepsi, yang terdapat dalam simbol, ikon, gambar, atau bahkan berita, sebagai bagian yang perlu hadil dalam pencitraan. Dengan demikian, kekuasaan juga adalah masalah persepsi.
Kembali lagi, seperti dikatakan Nietzche, bahwa hasrat berkuasa adalah penggerak kemajuan. Memang benar. Itupun jika menelisik bahwa ketika kekuasaan diperoleh, maka langkah berikutnya adalah melaksanakan dan melanggengkan kekuasaan. Di sinilah, para penguasa membutuhkan aksi nyata. Bagaimana?
Pemimpin Puisi
Ada individu dengan genggaman kekuasaan besar di tangan yang bertindak begitu produktif, mampu memuaskan dan menggiring pengikutnya mencapai tujuan-tujuan bersama. Tetapi ada juga penguasa yang gagal. Buku ini menyebutkan bahwa banyak kisi yang menjadikan pemimpin gagal ataupun berhasil. Salah satunya, dengan menyebut perlunya visi pemimpin dalam mengoperasikan kekuasaan.
Mengutip Richard Nixon, mantan Presiden AS, bahwa “pemimpin itu adalah puisi”, dan manager itu adalah prosa (lihat halaman 16). Di sini jelas, pemimpin bergerak dalam konteks imajinasi, menggerakan emosi, melakukan abstraksi, dan bermain dengan gagasan-gagasan visioner. Sementara manajer adalah bekerja karena adanya job description yang jelas. Pemimpin mengejar target yang akan datang, sementara manajer mengejar target hari ini. Dunia memiliki contoh penting, tentang penguasa yang maha besar, tetapi lenyap seketika, karena tak memiliki visi. Salah satunya, seperti ditulis Jhon Man, adalah Jenghis Khan!
Terakhir, sebagai pengingat, banyak juga contoh kepemimpinan dan genggaman kekuasaan yang menakjubkan, di tangan beberapa gelintir manusia terpilih. Misalnya, Mahatma Gandhi, yang dengan sadar memilih jalan ahimsa (tanpa kekerasan) dan swadesi (melayani kebutuhn sendiri). Hal ini, persis diungkapkan oleh Agus Salim, bahwa memimpin adalah menderita, atau Leiden is Lijden. Selamat membaca.


Senin, 17 Maret 2014

membongkar Kegagalan CIA

Pengarang : Tim Wainer
Penerbit : Pt Gramedia Pustaka Utama
No : SPPT.0355-DP-0314
 

Descriptions

Mengapa negara adidaya, lembaga spionasenya tak punya daya? Mengapa agen-agen dinas rahasia "polisi dunia" sekaliber AS beroperasi serampangan? Inilah keprihatinan mendasar buku yang memenangi berbagai penghargaan ini. Kesimpulannya, sejarah operasi intelijen CIA yangtelah berusia 60 tahun justru memangsa bangsa Amerika Serikat sendiri.
Menggunakan langgam reportase jurnalistik yang memikat, Tim Weiner, wartawan peraih Hadiah Pulitzer, menunjukkan bukti-bukti meyakinkan tentang betapa memalukannya kerja CIA. Diantaranya, agen-agen CIA mengetahui Tembok Berlin, simbol totalitarianisme rezim komunis Eropa Timur, runtuh pada 1989 dari siaran televisi, bukan dari pasokan analisis mata-mata yang bekerja di bawah tanah; ambruknya WTC pada 11 September 2001 dengan telanjang memeragakan kepada dunia bahwa agen-agen CIA tak becus mengantisipasi serbuan teroris.
Dinas intelijen terbesar di dunia ini melakukan blunder paling parah dalam sejarah panjang spionase: berbohong tentang eksistensi se.

Kamis, 13 Maret 2014

Pengakuan Algojo 1965

Pengarang : Kurniawan Etal
Penerbit : Tempo Publishing
No : SPPT.0354-DP-0314
 
Senin malam ini, 30 September, saya berkesempatan menghadiri peluncuran bukuPengakuan Algojo 1965, di Komunitas Salihara, Pasar Minggu. Undangan saya terima dari mention sahabat kompasianer mas Odi Shalahuddin di wall Facebook saya. Judul buku yang cukup sensitif, membuat saya penasaran ingin menghadirinya, selain juga karena versi film dokumenter dengan tema serupa berjudul The Act of Killing sudah saya lihat pada penghujung tahun 2012 lalu, walau hanya bisa saya saksikan di laman YouTube.
Adalah Anwar Congo, yang pada satu waktu dengan gagah beraninya membuat sebuah pengakuan bahwa dialah pembunuh banyak nyawa dari orang-orang yang dilabeli sebagai PKI (Partai Komunis Indonesia). Apa yang kemudian diakui Anwar membuat seorang sineas Joshua Oppenheimer mendokumentasikan ke dalam satu film dokumenter. Film itu sendiri telah diputar di Festival Film Toronto, Kanada.
Buku ini adalah versi lengkap investigasi Tempo edisi khusus, yang cukup komprehensif dan sangat menarik untuk disimak, karena mencoba mengupas tragedi peristiwa 30 September dari sudut pandang yang sangat berbeda dari yang kita dengar selama ini, yakni menelisik dari perspektif para algojo pembantai PKI. Menjadi penyeimbang sejarah yang sangat mungkin penuh bias dan fakta yang tertutupi atas nama keutuhan negara. Menjadi untold story yang sebelumnya terkubur dan tak pernah benar-benar terungkap dengan terang-benderang.
Membaca lembar demi lembar buku ini, kita seolah dibawa suasana kengerian di masa silam. Sungguh membayangkan saja rasanya sudah membuat saya sangat bergidik. Bagai viral yang sambung-menyambung, satu per satu mereka yang mengaku telah menjadi algojo bagi melayangnya banyak nyawa saudara sebangsa itu mengungkapkan kisahnya. Semua ditulis lengkap dengan identitas foto dan keadaan mereka terkini. Dan kebanyakan dari mereka tidak merasa bersalah apalagi menyesal telah menjadi eksekutor banyak nyawa manusia. Walau ada juga seorang algojo yang dikisahkan menghabiskan masa tuanya dalam kondisi terpasung akibat gangguan jiwa, setelah masa pembantaian itu berlalu sekian tahun. Diperlihatkan dalam sebuah foto kakinya terantai di jeruji besi.
Peluncuran buku dihadiri oleh beberapa tokoh dari Tempo, diantaranya Direktur Tempo Inti Media, Bambang Harymurti, Arif Zulkifli, Redaktur Eskutif Tempo, juga Goenawan Mohammad, yang Catatan Pinggir 10-nya pun ikut di-launching di acara ini. Topik yang hangat dan mencekam membuat semua yang hadir hening mendengarkan beberapa bagian penting buku ini dibacakan oleh penyair Sitok Srengenge di gedung Teater Salihara. Usai peluncuran, acara dilanjutkan makan malam bersama di rooftop gedung Salihara. Berikut beberapa liputan fotonya,Pada akhirnya sejarah akan terus menuntun jalannya sendiri untuk sampai pada kebenaran sejati, tak siapa pun bisa menahannya. Terlepas dari bias faktanya, tragedi pembantaian manusia atas manusia secara membabi buta tidak bisa dibenarkan atas nama apa pun. Tulisan sahabat kompasianer Yusran Darmawan cukup menjadi bukti, betapa pembantaian ala algojo ini meninggalkan luka dan trauma yang panjang. Semoga tragedi ini tak perlu terulang, meski jangan juga dilupakan. Dan semoga bangsa ini belajar dari torehan sejarah kelamnya.

Rabu, 12 Maret 2014

Ketika Cinta Menyatukan segalanya

Pengarang : Jack Canfield,Mark Viktor Hansen
Penerbit : Pt Gramedia Pustaka Utama
No : SPPT.0353-DP-0314
 

" Chicken Soup Series: Chicken Soup for the Bride's Soul (Ketika Cinta Menyatukan Segalanya) "
dan kisah-kisah nyata menyentuh lainnyaSetiap gadis, pada umumnya, pasti memimpikan hari pernikahannya-mengenakan gaun indah bak ratu sehari, berjalan anggun sambil bergandengan tangan di bawah tatapan kagum para tamu, dikelilingi rangkaian bunga indah. Chicken Soup for the Bride's Soul ini akan menemani Anda-sang calon pengantin-mengungkapkan banyak hal, sejak pertama kali bertemu sang pangeran, persiapan dan kehebohan menjelang pernikahan hingga akhirnya tiba harinya ketika komitmen sehidup semati itu diikrarkan.Kisah-kisah nyata yang menawan serta memberikan inspirasi dan hiburan di dalam buku ini akan menunjukkan makna cinta dan pengabdian yang sebenarnya, yang akan memberikan ketenangan dan menghapuskan stres serta kekhawatiran yang menyertai persiapan menghadapi pernikahan. Para calon pengantin dan mereka yang sudah menikah bertahun-tahun pasti akan menyukai kisah-kisah tentang lamaran, gaun pengantin, kenangan di hari pernikahan, tahun-tahun pertama perkawinan, dan makna perkawinan itu sendiri.Ada kisah tentang gaun pengantin yang mempertemukan cinta abadi; kisah tentang cinta murni calon pengantin pria terhadap tunangannya yang tengah menunggu maut menjemput; kisah tentang keabadian cinta mempelai wanita terhadap ayahnya yang telah tiada; dan kisah cinta yang dipertautkan kembali setelah 25 tahun berpisah.

Selasa, 11 Maret 2014

Hak dan Kewajiban Bagi Pekerja Dan Pengusaha

Pengarang : Drs Danang Sunyoto SH,SE.MM
Penerbit : Pustaka Yustisia
No : SPPT.0352-DP-0314
 
Hak dan Kewajiban bagi Pekerja dan Pengusaha
Pada zaman penjajahan Belanda, yang dimaksudkan dengan buruh adalah pekerja kasar seperti kuli, tukang, tukang maupun mandor. Orang-orang ini disebut sebagai Blue Collar. Sedangkan yang melakukan pekerjaan di kantor pemerintah maupun swasta disebut sebgai karyawan/ pegawai (White Collar).
Pembedaan oleh pemerintah Belanda ini membawa konsekuensi pada perbedaan perlakuan dan hak-hak. Hal ini tidak terlepas dari upaya untuk memecah belah orang-orang pribumi. Setelah Indonesiai merdeka keadaan mulai berubah seiring dengan berbagai bentuk peraturan di bidang ketenagakerjaan.
Buku ini disusun berdasarkan kajian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan perundang-undangan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang berlaku atau yang pernah berlaku di Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan rincian penjelasan secara historis legalitas. Dengan demikian, pemahaman atas materi buku ini diharapkan dapat diperoleh secara utuh dengan didukung oleh fakta-fakta hukum yang ada.



Senin, 10 Maret 2014

My Brief History

Pengarang : Stephen Hawking
Penerbit : Pt Gramedia Pustaka Utama
No : SPPT.0351-DP-0314

My Brief History menceritakan perjalanan luar biasa Stephen Hawking, dari masa kecilnya di London sesudah Perang Dunia II sampai menjadi pesohor yang terkenal di seluruh dunia. Dilengkapi foto-foto yang jarang terlihat, buku singkat, kocak, dan cerdas ini memperkenalkan pembaca dengan seorang Hawking yang belum tampak di buku-buku terdahulu: anak sekolah yang ingin tahu dan dijuluki “Einstein” oleh teman-temannya; orang yang suka bercanda dan pernah bertaruh dengan temannya perihal keberadaan lubang hitam; serta suami dan ayah muda yang berjuang untuk mendapat tempat di dunia akademia.

Dengan tulisannya yang khas, rendah hati dan penuh humor, Hawkingmengungkap mengenai tantangan yang dia hadapi sesudah didiagnosis mengidap penyakit neuron motor pada umur dua puluh satu. Dia menelusuri perkembangannya sebagai pemikir untuk menjelaskan bagaimana kemungkinan mati muda mendorong dia meraih banyak terobosan intelektual, dan berbicara mengenai kelahiran mahakaryanyaA Brief History of Time—salah satu buku terbesar pada abad keduapuluh.

Jernih, akrab, dan bijak, My Brief History membuka jendela bagi kita untuk menengok jagat raya pribadi Hawking.

Jumat, 07 Maret 2014

Yap thiam Hien (Pejuang lintas batas)

Pengarang : Josep P Widyatmadja
Penerbit : Libri
N0 : SPPT.0350-DP-0314


Di tengah lunglainya penegakan keadilan dan hak asasi manusia di Tanah Air, menghadirkan kembali karya dan pemikiran Yap Thiam Hien mengobarkan semangat menjadikan hukum sebagai panglima.
Konsistensi dan integritas Yap di bidang hukum dan keadilan semasa hidupnya tak pernah diragukan. Di luar itu, ada warisan Yap yang perlu dilestarikan dalam rangka mencapai kehidupan berbangsa yang lebih baik, yaitu sikapnya yang antidiskriminasi politik, rasial, dan agama.
Sikap antidiskriminasi Yap merupakan sebagian catatan dan pandangan sejumlah tokoh lintas bidang yang menyumbang tulisan dalam buku mengenang 100 tahun Yap Thiam Hien ini.
Tokoh kelahiran Aceh, 25 Mei 1913, ini disebut sebagai pejuang lintas batas karena mampu menerabas belenggu kesukuan, keagamaan, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Pikiran dan perjuangannya terbukti mampu melintasi zaman penjajahan, zaman Demokrasi Terpimpin, dan zaman Orde Baru.
Pada zaman Demokrasi Terpimpin, Yap mengkritik secara tajam gagasan kembali pada UUD 1945. Frans Hendra Winarta menulis, Yap menjadi satu-satunya anggota Konstituante yang menentang UUD 1945, khususnya keberadaan Pasal 6 yang dinilainya diskriminatif soal jabatan presiden. Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia 2009-2013 ini menambahkan, Yap adalah salah satu di antara sedikit advokat yang tidak terkontaminasi komersialisme dan korupsi.
Memasuki era Orde Baru, kiprah Yap tak surut. Ia berhasil mematahkan semua argumentasi tuntutan jaksa saat membela Subandrio, mantan menteri luar negeri pada pemerintahan Soekarno. Meski tak secara langsung membebaskan Subandrio dari vonis hukuman mati, pembelaannya menjadi panutan bagi profesi kepengacaraan.
INFO BUKU
♦ Judul Buku : Yap Thiam Hien, Pejuang Lintas Batas 
♦ Penyunting : Josef P Widyatmadja
♦ Penerbit : Libri, 2013 
♦ Tebal : xvi+318 halaman 
♦ ISBN : 978-602-7688-33-9
Konsistensinya menegakkan keadilan serta melawan diskriminasi semata dilandasi kasih dan keimanannya sebagai seorang Kristiani. Iman dan kasih itu pula yang memengaruhi seluruh karier dan kehidupannya. Kesan itu disimpulkan Martino Sardi, staf pengajar Universitas Islam Negeri Sunan Kali Jaga, Yogyakarta, berdasarkan penelusuran tulisan dan riwayat hidup Yap.
Penulis lain, RD Benny Susetyo, menilai spiritualitas dalam diri Yap bersifat universal karena tak melihat kekristenan secara sempit, tetapi secara keindonesiaan. Yap selalu berusaha menjadikan hidupnya berarti dengan berbakti kepada sesama, tanpa memandang SARA.
Momentum peringatan 100 tahun Yap Thiam Hien ini diharapkan bisa lebih menguatkan tekad menuju kehidupan berbangsa yang lebih baik. Zuly Qodir, aktivis pluralisme dan sosiolog, mengajak untuk menengok sejenak perjuangan Yap dalam menegakkan nilai-nilai luhur dan beradab.
Agama harus dihadirkan untuk membela yang terbelakang serta yang terdiskriminasi dari tirani politik, ekonomi, dan kultur. Maria Ulfah Anshor, aktivis dan Ketua Umum Fatayat Nahdlatul Ulama, menuturkan, wacana Yap Thiam Hien ini diharapkan mampu merajut kembali hubungan yang baik dan harmonis antargolongan, antarsuku, ataupun antarumat beragama di Indonesia. (TGH/Litbang Kompas)

Kamis, 06 Maret 2014

Water For Elephants(air susu gajah)

Pengarang Sara Gruen
Penerbit : Pt Garamedia Pustaka Utama
no : SPPT.0349-DP-0314



Aku tidak banyak bercerita tentang hari itu.

Sebetulnya aku tahu kenapa: aku tidak pernah memercayai diriku sendiri. Aku takut keceplosan. Aku tahu betapa pentingnya menjaga rahasianya, dan memang tetap kujaga rapat-rapat rahasia itu---selama sisa hidupnya, juga setelahnya.

Selama tujuh puluh tahun, aku tidak pernah menceritakannya pada seorang pun.


Kenangan itu masih lekat di benak Jacob Jankowski. Kenangan ketika takdir membawanya ikut rombongan kereta sirkus pada awal tahun 1930-an. Kenangan ketika hidupnya penuh dengan segala keajaiban kasih sayang, kepedihan, dan kemarahan.

Di sana Jacob bertemu dengan Marlena, bintang sirkus yang menikah dengan lelaki yang salah. Juga Rosie, gajah cantik yang dianggap bodoh oleh semua orang. Seperti takdir yang membawa Jacob naik kereta sirkus, takdir pula yang membentuk jalinan cinta antara Jacob, Marlena, dan Rosie, yang pada akhirnya menjadi harapan untuk bertahan hidup dalam rimba sirkus yang kejam.

Rabu, 05 Maret 2014

Einstein (kehidupan dan pengaruhnya bagi dunia)

Pengarang : Walter Isaacson
Penerbit : Mizan
No :SPPT.0348-DP-0314

Einstein : Kehidupan dan Pengaruhnya bagi Dunia

Bocah berusia lima tahun itu terus menggigil di ranjang tidurnya. Tapi bukan karena demam. Ia melihat jarum magnet, yang gerakannya seolah-olah dipengaruhi oleh kekuatan tersembunyi. Jarum itu membangkitkan rasa ingin tahu yang memotivasinya kelak, seumur hidupnya. Ayahnya memberi tahu bahwa benda menakjubkan itu bernama kompas …

Belasan bahkan puluhan tahun kemudian, Albert Einstein—lelaki kecil tadi—terus mengingat pertemuan pertamanya dengan kompas. Ketakjubannya akan kesetiaan jarum pada medan yang tak terlihat.

Kecerdasan Einstein memang melampaui zamannya. Masa muda Einstein penuh pemberontakan terhadap aturan. Ia bahkan menjadi panutan suci bagi anak-anak sekolah yang bermasalah di mana saja.

Tak hanya itu, di puncak karirnya, penolakan keras Einstein terhadap penggunaan senjata membuatnya begitu dicintai sekaligus dibenci. Ia bahkan menjuluki negara-negara pengibar perang sebagai “orang kaya yang berusaha mengusir kebosanan”.

Dalam biografi ini, Walter Isaacson tak hanya berhasil membedah pemikiran Einstein, tetapi juga menampilkan sisi “manusia” dari ikon jenius ini sebagai bagian dari masyarakat semesta.

Selasa, 04 Maret 2014

Long walk Nelson Mandela

Pengarang : Paharizal S.Sos.M.A
Penerbit : Narasi
PNo : SPPT.0347-DP-0314
Nelson Mandela adalah potret dari perjuangan sebuah asa. Ia, yang terlahir dan tumbuh di antara kaum sukunya, akhirnya tampil menjadi sosok pemimpin sekaligus pemersatu bagi bangsanya. Nelson Mandela menjadi saksi sekaligus actor penting yang menerangi lorong sejarah kelam politik apartheid. Buku ini bagai suatu mozaik dari perjalanan panjang seorang pejuang Afrika Selatan.
Bagian pertama buku ini dibuka dengan gambaran proses terbentuknya politik apartheid (diskriminasi warna kulit yang berkarakter rasisme) yang terjadi di Afrika Selatan; masa awal kehidupan Nelson Mandela; perkenalan untuk pertama kalinya tentang wacana penindasan berbasis rasis; serta bangkitnya kesadaran kritis dan semangat perlawanan Nelson Mandela
Bagian selanjutnya difokuskan pada aksi  perlawanan yang dilakukan oleh Nelson Mandela terhadap rezim politik apartheid, ketika dia melihat bahwa perlawanan yang efektif adalah perlawanan yang memanfaatkan organisasi sebagai “ senjata “.
Pada bagian akhir dipaparkan tentang “kemenangan” Nelson Mandela, yaitu dengan dicabutnya politik apartheid di Afrika Selatan. Juga dibahas tentang terpilihnya Nelson Mandela sebagai presiden kulit hitam pertama di Afrika Selatan; kiprahnya di dalam dan luar negeri ketika menjalani tanggung jawab sebagai seorang presiden ; kebijakan dan aksinya dalam mengampanyekan perdamaian dunia; hubungan dengan ketiga istrinya; hingga masa-masa ketika dia sakit parah dan mengalami masa-masa kritis karena penyakit radang paru-paru dideritanya.
Walaupun Nelson Mandela dalam keadaan sakit-sakitan, dia masih sangat peduli dan peka ketika mendengar atau melihat terjadinya ketidakadilan. Hidup Nelson Mandela benar-benar diabdikan untuk mendorong perdamaian, keadilan, dan kesetaraan bagi seluruh umat manusia tanpa memandang perbedaan.
Nelson Mandela telah menempuh jalan panjang untuk mewujudkan impiannya.

Anomali Ratifikasi Konvensi Buruh Migran

Pengarang ; Migrant Care
Penerbit : Migrant Care
No :  SPPT-0346-DP-0114

Ketika hukum Dijadikan Alat Pelanggaran HAM

Pengarang : Lbh Jakarta
Penerbit : Lbh Jakarta
No : SPPT.0345-DP-0114

Bantuan hukum Bagi Warga Miskin

Pengarang : Lbh Jakarta
Penerbit : Lbh Jakarta
No : SPPT.0344-DP-0114 

Memastikan RUU PPILN Mengadopsi Standar Ham Dan Perburuhan Internasional

Pengarang : Migrant Care
Penerbit : Migrant Care
No : SPPT.0343-DP-0114